KoMA

http://www.emocutez.comKami Komunitas Mata Aksara Mengucapkan Selamat Menjalankan Ibadah Puasa 1431 H. Mohon maaf lahir dan Bathin.http://www.emocutez.com

Jumat, 27 Agustus 2010

003. Puisi-Puisi Na Lesmana


HISAB

Setiap malam
aku menatap ke dalam cermin
yang tergeletak di sudut kamarku
seorang lelaki melahirkan bayi-bayi serigala
dari rahimnya yang dingin dan berkarat
purnama, angin dan bunga di atas bukit
menyerupai lukisan. Jika sudah waktunya
aku akan masuk ke dalam cermin
dan menatap jasadku sendiri
yang seringkali bercinta
dengan gadis
putri bulan.

Setiap malam
aku menatap ke dalam cermin
yang penuh debu dan ditelan kabut
seorang lelaki menyusui bayi-bayi serigala
dengan liur yang menderas dari mulut waktu
udara, angin laut dan api keabadian
menjelma tanah makam. Jika sampai umurku
aku akan hidup di dalam cermin
dan menjemput kematian
yang menungguku
di persimpangan
dua dunia.

Setiap malam
aku menatap ke dalam cermin
dan menyatukan diri dengannya
noda hitam, limbah pekat kehidupan
dan puing-puing bangunan mengotori
ruang pikiran. Seorang lelaki membunuh
bayi-bayi serigala dengan sepasang matanya
yang nyalang. Dengan dirinya pula
aku akan berpelukan mesra
dan menciumi wajah
yang tersimpan
di dadanya.


2010


-----------------------------------------------



A GIRL WITH THE RED HAIR
: metha carraya

Di ruang penuh asap, pertemuan kita serupa api.
Aku diam-diam mengirimkan kabar. Tentang puisi
Yang berdesakkan di kepala. Dan kauperempuan
Berambut merahtak pernah memenuhi kenangan
Atas umurku. Tak siapa pun serupa dirimu!

Oh, baby, it’s a wild world.” Bisikmu pada dinding.

Di rumah fanayang berjarak gunungkita tidur.
Mencipta mimpi sendiri. Tentang hidup besok pagi.
Aku mencari-cari jawaban. Atas pertanyaan puisi:
What’s the life?” “What’s a wonderful life?

Tha, aku membaca hatimu. Dengan mata tertutup.
Melalui lubang-lubang cahaya. Ketika waktu semakin
Merahasia. Namun, aku tak mendapati tulisan. Hanya
Sebuah gambar. Membuatku enggan berpulang: O!

I know when to kiss. I know when to kill.”Katamu.
Hidup adalah permasalahan waktu. Dan kesadaran itu
Telah mengairi semua ladang. Dunia segera hilang!

2010


-----------------------------------------------------------------


KAMI KEHILANGAN DONGENG
: wikan satriati

Kami semakin tak mengerti cerita-cerita yang dibisikkan
malam ke telinga kami. Karena pagi dan siang menyerupai
ruang kelas tanpa guru tanpa papan di dinding depan. Kami
samasekali tak memahami buku jaman, lagu usia dan isyarat
yang dikirimkan arloji. Lalu kami enggan tertidur, meski gelap
telah merayap dari lantai ke ranjang. O, di dalam kepalaku
hanya ada keresahan ibu dan keletihan bapak mendaki bukit
menanti takdir yang datang ke rumah kami.

Dan memang kami kehilangan dongeng tentang gadis kecil
penjaga bintang, keinsafan kancil dan bunda di tepi pantai
mengatakan bahwa perahu akan sampai ke sebuah dermaga
di seberang sana. Karena itulah kami tak mampu membangun
istana cahaya di kedalaman hati kami dan merangkai mimpi
dengan jari selentik sunyi. Entah sampai kapan kekosongan
terus mengisi ruang hijau kehidupan kami, dan kerinduan
hanya menggantung di langit-langit kamar.

Barangkali kami mesti mencipta dongeng kami sendiri, meski
jaman hanya menyisakan riuh-redam orasi, dan interupsi basi:
aduhai.

2010

---------------------------------
Na Lesmana, Pria kelahiran 07 Juli 1992 ini aktif di Komunitas Mata Aksara. 
Beberapa karyanya pernah dimuat di beberapa media massa.

Kamis, 19 Agustus 2010

Tujuh Hari Menuju Surga

 Cerpen MH Poetra (Republika, 7 Maret 2010)




RABU, 31 Desember 2006 (AKSARA News)
Telah ditemukan mayat laki-laki dengan kondisi mengenaskan di kedai tuak Marpaung seputar wilayah Halat, Kec. Medan Area Selatan, Medan, Sumatra Utara. Petugas kepolisian yang memeriksa korban tidak menemukan kartu identitasnya. Hanya ada sebuah notes kecil berisi catatan-catatan harian, pensil pendek, bungkus kretek, pemantik, dan beberapa remukan kertas. Korban akan dibawa ke Laboratorium Forensik Medan, guna diautopsi.

***

Mata kami masih saling bertatap, dingin. Kalau kau pernah ke Alaska dan merasakan betapa bekunya suasana di sana, begitulah sekarang hawa di ruangan kedai tuak ini. Tapi, tatapan mata mereka seperti api, panas, membakar segala. Udara hangus, bertuba oleh kata-kata maki yang terdengar samar. Dan, kami semakin dekat.

***

24 Desember 2006, Rantauprapat
Aku hidup dan besar dari garis yang dijalin oleh misteri. Begitulah, aku memaknai hidup tidak dari apa yang diajarkan oleh ibu dan bapakku, bahkan aku tidak tahu siapa mereka. Jalan hidupku hanya berujung pada kata: resah, dan sunyi. Harapan sunyi akan ketakutan yang mabuk, serta kegilaan yang kuat bagiku adalah hal yang biasa.

Di kota asalku, Rantauprapat—sebuah kota dengan panorama kumuh, jauh dari apa yang dibayangkan orang tentang kota besar, banyak orang-orang gila karena ketakutan; semisal kegagalan atau kecemasan karena profesi yang tak kunjung membaik, bahkan sekadar risau lantaran pasangan yang tak lagi memuaskan. Aku tertawa kecil. Bagiku, sungguh, ketidaktakutanku itulah yang paling menakutkan.
Lalu, bagaimana denganmu, Kawan?

***

Maut adalah kekalahan hidup. Luka sebagai penghantarnya. Tuak tak lagi memikat, walau begitu, segera kuhabiskan saja sisanya yang masih membusa di meja, sebelum nanti aku tak lagi sempat menikmatinya. Sekecil apa pun itu, pantang bagiku menyisakan sesuatu.
Kau tahu, kami sudah sama terbakar dari api mata masing-masing. Tinggal dalam hitungan detik, pecahlah apa yang dinama kesunyian.

***

25 Desember 2006, Rantauprapat
Bohong besar jika aku bilang tidak suka tuak atau bir. Meski agamaku melarangnya. Sudahlah. Ini Hari Natal, aku akan berkunjung ke rumah kawan-kawanku yang merayakannya. Sekadar bertegur sapa, basa-basi, aku bisa pulang dengan enteng, seolah baru kembali dari surga karena dahaga yang candu terpuaskan. Bagi mereka, itu keharusan turun-temurun, seperti ritual sakral yang meluruhkan penat raga di tahun sebelumnya. Ini akan terus berulang sampai tujuh hari ke depan. Kenikmatan yang cukup panjang kukira, setidaknya, dapat mencairkan batu-batu es yang memenuhi rongga kepalaku. Ah, aku tidak mau terlalu larut karena besok harus ke Kota Medan, kota sumber mata pencaharianku, meski hanya sebagai penjaja suara melalui sajak-sajakku di tempat-tempat umum. Jangan kira aku sengsara. Aku cukup puas, karena terbebas dari keterikatan atau ketergantungan dari sesuatu—apa pun itu. Aku akan menemui perempuanku di Lubuk Pakam. Ini penghujung tahun, seperti tahun-tahun sebelumnya, bersua dengannya adalah sebuah keharusan.

Sebab perempuan, bagiku, adalah candu segala candu. Hutan yang mengharuskan aku tersesat di dalamnya.

***

26 Desember 2006, Rantauprapat-Medan

“Tuhan menangis di luar,
Ditambah laju, kereta menggigil badan.
Sekeliling diam. Masing di kepala menampar-nampar
Ditambah lagi kenang yang mengapit kelok jalan.’’
-Lelap hingga tuju-

***

Mereka—ke empat orang itu— setelah kemabukan yang entah telah mencapai tahap apa, tiba di hadapanku seolah menjadi iblis-iblis bengis yang siap melumatku mentah-mentah. Tapi, hey! Aku adalah macan, dengan taring dan cakar yang bisa melumpuhkan apa saja. Lelaki gemuk dengan kaus oblong putih itu langsung memukul pelipisku dengan membabi buta.

***

27 Desember 2006, Medan
Malam ini, Medan sangat lengang. Ketika berjalan, angin yang mengabarkan dingin menyertai tiap langkahku. Kadang, aku ingin menjelma sebagai macan; punya taring, punya cakar, punya mata yang membius, dan aku akan jadi penguasa dunia. Dengan taringku, aku akan mencabik teka-teki yang lebih dulu telah ditanam dalam kepala pascakelahiranku; aku akan mengoyak-ngoyak bulan dengan keirian karena keindahannya yang dijadikan kiblat oleh para pencinta sebagai mutiara jiwa yang haus. Dan mataku, ini mataku, aku tidak lagi tahu untuk apa sejatinya mataku ini.

“Jadi kambing di kampung sendiri, tapi jadi banteng di kampung orang,” kata orang-orang di kampungku.


***

Aku terjerembab. Belum sempat bangkit melawan, lelaki kurus dengan muka yang masih lebam itu turut memukulku, gelas di tangannya langsung dihantamkan tepat di jidatku. Seketika suasana riuh. Pemilik kedai berteriak mencak-mencak, ingin segera mengakhiri pertikaian. Darahku bercucuran.
Tapi, iblis-iblis ini terus saja menjejaliku dengan pukulan mematikan.

***

28 Desember 2006, Medan

“Luka bersama mana yang kita cari,
Hidup jauh sudah mengemudi sepi.”
-Lee-

Mengasingkan diri setiap malam di sebuah lorong yang becek, gelap, dan sempit, ditemani kertas usang dan pensil berukuran 3 cm yang tumpul luar biasa, serta ide-ide yang berhamburan di kepala, bukanlah kemauanku. Tikus-tikus begitu setia menemaniku, satu berbadan besar hitam sedang sibuk sendiri di sudut lorong mengais-ngais kantongan plastik. Di tepi got, tikus berbadan kecil dengan mata tirus dan ekor yang lumayan panjang sedang menoleh ke kananke kiri. Jangan-jangan resahku telah merasuk ke dalam resahnya.
Di lorong ini aku kerap meniduri langit dengan kegelapan.

Dan sepi adalah kegagalan diri. Nasib kesendirian yang mengadu.

***

Tubuhku tak bisa digerakkan lagi, tapi mataku masih awas. Mereka masih saja menjadikan tubuhku sebagai ladang pembantaian. Aku melihat orang-orang begitu ketakutan, seolah sedang disuguhi tontonan pembantaian kejam di masa-masa lalu, seperti PKI atau Nazi. Tapi, ini lebih jauh mengerikan. Mengapa mereka diam saja? Tidakkah ada rasa iba untuk menolongku? Ah, kiranya baru kutersadar, ketakutan kerap menjadikan kita sebagai budak, di mana tubuh dan pikir tak lagi kita yang menentukan.
Di mana Maya?

***


29 Desember 2006, Lubuk Pakam
Maya Marsita namanya, perempuan dengan tubuh semesta dan berambut langit itu, entah kenapa malam ini ia datang terlambat, biasanya ia tak pernah membuatku lama menunggu. Beberapa orang di stasiun pun hanya menggeleng memberi tahu, bahwa mereka tak tahu, atau tak peduli. Perlahan sayup terdengar suaranya. Teriakan, jeritan, dan makian yang keluar dari mulutnya, makin lama terdengar makin menyiksa. Kuburu arah suara itu. Di sudut peron yang sunyi, seorang lelaki kurus tinggi berkulit legam dan berkacamata, tampak sedang menarik tangannya dengan paksa. Jeritan Maya semakin menjadi begitu dilihatnya aku berdiri di sana. Sekonyong-konyong kulayangkan tinjuku ke arah wajah lelaki itu tanpa henti. Ternyata, sudah banyak orang yang menonton kejadian itu. Maya berdiri menggigil tak jauh dariku, wajahnya pucat.

Kulihat lelaki tadi berlumuran darah, tak bergerak sama sekali, napasnya tersengal. Beberapa orang yang menonton pun hanya terpaku diam.

Seseorang berkata dengan nanar, “Lelaki itu anggota geng dari sekumpulan lelaki tua, jagoan stasiun ini. Siapa pun yang berani menyentuh salah satu di antara mereka, pasti akan mati, akan dicari sampai ketemu, lalu dibunuh.’’

Seorang lagi menyarankan agar aku segera meninggalkan kota ini, karena tak ada jaminan bisa menyembunyikan diri.

Aku menyalakan kretek, menghisapnya dalam-dalam, lalu kugapai tangan Maya dan menuntunnya menjauh dari kerumunan orang. Ia mengikutiku dengan patuh, bahkan sambil menyandarkan kepalanya ke pundakku. Kami berjalan semakin jauh, tak peduli tatapan ganjil orang-orang.

Ini hidupku! Dalam hati aku bergumam pada mereka, “Ah kalian, kayak tak tahu aku saja. Seribu setan saja akan tunduk padaku!”

***

Kematiankah begitu dingin? Aku tak tahu. Jangan-jangan iblis-iblis ini tidak paham betapa pentingnya satu nyawa. Setengah sadar, aku lihat lelaki kurus berwajah lebam itu menarik belati dari pinggangnya. Tanpa ragu ia tancapkan tepat di dadaku. Dan, oh!

Aku berteriak sekencang mungkin, “Biar tertanam seribu belati di tubuhku, tahukah kalian, bukan kematianku yang menghentikan segalanya!”

Tusukan-tusukan dan hantaman-hantaman itu tak henti juga menetaki tubuhku. Lantai menjadi lautan darah. Pandanganku mengabur.

“Duka maha-Mu lebih tinggi-hilang bayang meniba tara untuk-Mu lagi-pulang kenang.”

Lalu, kulihat samar wajah-wajah mereka yang tertawa puas.

***

30 Desember 2006, Kedai Tuak, Pinggiran Kota Medan

“Hidup adalah kesiaan masing ruh,
Ajal dan waktu, hanya pembatas keluh.”

Aku duduk di antara lelaki-lelaki tua itu. Sebegitu asyiknya seolah tak ada beban hidup yang bergelayut di benak mereka. Aku juga tidak tahu apakah mereka hidup sendiri sepertiku, atau ada anak-istri yang sebenarnya menanti mereka dengan penuh kecemasan dan harapan di rumah. Mereka sedang bergitar ria, menyanyi riuh tak jelas. Seorang lelaki gemuk memakai kaus oblong putih dengan janggut dan kumis yang tak terurus, paling keras suaranya. Dan, satu suara terdengar sedikit merdu—meski masih fals di telingaku—itu suara seorang lelaki berbadan kurus tinggi berkulit legam dengan wajah yang masih terlihat lebam.
Dan, oh, dia …

Dia tidak asing lagi di mataku. Dia lelaki yang kemarin malam menarik paksa tangan Maya. Aku tak peduli sorot mata lelaki itu, juga sorot mata anak-anak buahnya yang rata-rata berbadan kekar itu. Pun tak kuhiraukan sama sekali apa maunya mereka. Tuhan saja kadang terlupa ketika aku asyik menenggak tuak. Yang jelas, tuak di gelas yang tinggal setengah kutenggak habis sekali teguk.

***

31 Desember 2006, (kosong)


***

(Maya Marsita)

01 Januari 2007

Aku masih menantimu, Lee, kenapa belum juga datang? Padahal, kau berjanji akan menemaniku menikmati malam Tahun Baru. Aku ingin jelaskan padamu, lelaki yang menarik tanganku itu sebenarnya abangku sendiri. Ia tidak suka aku menjadi wanita panggilan. Aku menyesal karena tak sempat mengatakannya padamu, Lee.
Setelah kejadian malam itu, sehabis mengantarku, kau langsung pergi. Saat kutanya hendak ke mana, kau hanya menjawab singkat. “Mau ke surga!” katamu.

***
Jakarta, Februari 2010


MH Poetra, lahir di Medan, 28 Oktober 1988. 
Saat ini bergiat di LEKAS dan Komunitas Mata Aksara.

Senin, 16 Agustus 2010

Cerpen Handoko F Zainsam

Sura dan Perempuan

Cerpen Handoko F Zainsam (Republika, 17 Januari 2010)


TAK seorang pun berani main-main dengannya. Dia perempuan terhebat yang pernah ada di negeri ini. Semua orang mampu dibuatnya jatuh cinta. Lantaran memburu cintanya, tak jarang terjadi silang sengketa, pertikaian, bahkan pembunuhan. Sungguh, tak seorang pun berani sembarangan menyebut namanya. Paling hanya menyerukan julukannya saja. Tak lebih, tak kurang. Ada yang menjulukinya Venus. Ada yang memadankan dirinya dengan Hera, Gaia, Maria, Hawa, atau Aisyah. Ada pula yang menyandingkannya dengan Sumbi atau Pariyem.

Begitulah. Perempuan itu tak henti-henti menghiasi halaman media cetak dan elektronik, bahkan merambah dunia maya. Di setiap jejaring sosial dan komunitas, namanya selalu sarat pikat dan penuh pukau. Ia jadi penghangat setiap perbincangan siapa saja dan di mana saja, baik lelaki maupun perempuan. Di hotel, di kantor, di salon, di pinggir jalan, bahkan di rumah-rumah ibadah. Ia adalah pengisi mimpi setiap laki-laki. Tak hanya petinggi negara, rakyat jelata pun terpesona pada kecantikannya. Bahkan, perempuan terpikat padanya. Ia permata yang tak pernah kehilangan pendar kilau.

Perempuan itu telah menjadi virus sosial yang mewabah. Keindahan rambut hitamnya yang tergerai panjang; keharuman tubuhnya yang meruah di segenap ruang meski ia telah berlalu; bening matanya yang menghanyutkan; bibirnya yang merona merah merekah; terlebih senyum indahnya yang belum pernah dilihat oleh siapa pun sebelumnya.

Konon, perempuan itu tinggal di sebuah tempat yang terjaga ketat. Tak seorang pun bisa dengan mudah mendekatinya. Apalagi menemuinya. Jika berniat melihatnya, pastilah harus menempuh jalan berliku dan penuh tantangan.

***

Mendengar kabar kecantikan perempuan itu, kaum lelaki berlomba mendapatkannya. Betapa tidak, semua lelaki meyakini perempuan itu adalah calon ibu terbaik bagi anak-anaknya, wanita paling teduh untuk dipinang menjadi istri, dan teman terkarib jika diangkat sebagai sahabat. Begitu halnya dengan seorang pembunuh bayaran kelas kakap dan buronan nomor wahid kepolisian. Lelaki begal yang ditakuti itu pun sangat terobsesi untuk menyunting perempuan itu. Sura, begitulah namanya diserukan. Identitasnya tak pernah jelas. Wajahnya saban waktu berganti rupa. Jangan harap ia bisa ditemukan dengan mudah. Polisi saja kewalahan mengejarnya. Dia tak pernah melakukan pola yang sama dalam setiap modus operandinya. Tak ada kegagalan jika kita teguh melaksanakannya. Begitu prinsip hidupnya.

Demi perempuan itu, banyak yang berani membayar upahnya 10 kali lipat dari biasanya. Kali ini, semuanya ia tampik. Ia telah menentukan pilihan: perempuan ternama itu harus jadi miliknya, apa pun risikonya.
Sungguh tak susah bagi Sura untuk melacak keberadaan perempuan dengan mata dan senyum terindah itu. Tak lebih dari 24 jam ia sudah berhasil menemukan di mana perempuan itu bermukim. Sura memang dikenal jenius. Daya ingatnya kuat. Ia mampu menghafal setiap informasi yang diserapnya dalam waktu singkat, dan dengan sigap mengolahnya menjadi muslihat baru untuk memuluskan strateginya.

***

Malam. Di perkampungan pinggir hutan dekat lokasi tujuan, Sura singgah di sebuah kedai. Seperti rumor yang berkembang, perempuan itu selalu menghiasi perbincangan warga. Tak susah mencari beritanya. Ia simak dengan saksama setiap obrolan pelanggan kedai. Tapi, ada yang janggal. Tak seorang pun keceplosan menyebut nama perempuan itu. Mitos yang berkembang, jika ada warga yang menyebut namanya, dalam jangka waktu singkat orang itu bakal menderita panas tinggi. Atau raib begitu saja. Musnah tanpa jejak.
Tapi, cukuplah rasanya kabar yang diserapnya. Sura pun bergegas merambah hutan lebat tanpa nama itu, hingga tiba di tepi sebuah sungai. Di seberang sungai menghampar hutan lebat lagi, lalu perkampungan tempat perempuan idamannya bermukim. Kali ini terasa lain. Sungguh, belum pernah ia merasa segugup ini. Detak jantungnya sangat kencang dengan irama tak beraturan. Belum lagi peluh dingin yang membanjiri jidatnya. “Ada apa ini,” keluhnya dalam hati. Ia menceburkan diri ke sungai, lalu mengguyur wajahnya. Dingin. Membekukan.

Selepas membasuh wajahnya, jantung Sura mulai stabil. Terang purnama memberikan cahaya cukup. Ia pun menyeberangi sungai dengan air setinggi lutut itu, lalu merambah hutan lagi. Tak terlihat sesiapa. Hanya sesekali terdengar kowak burung hantu, geretak angin di ranting pinus, dan gemericik air sungai.
Tak dinyana, seekor musang meloncat jarak setombak di depannya, bergegas menghilang di rimbun semak. Seketika Sura makin berhati-hati. Hawa hangat meruap di pori-pori wajahnya. Hatinya waswas. Namun, petuah leluhurnya kembali meruyak ingatannya. Jangan sekali-kali kau ragu. Ambil keputusan bermain atau tidak sama sekali. Sura menghapus keringat dinginnya, lantas melangkah penuh keyakinan menerabas hutan.

Tiba-tiba kesiur angin terasa menabrak pelipisnya.

“Siapa?” ucap Sura.

Tak ada jawaban. Hanya kesiur angin dan gemericik sungai terdengar membelah malam. Sepi. Sura kembali melangkah. Kemudian, samar-samar terlihat seorang laki-laki pendek bertelanjang dada. Pendek sekali orang itu, hanya setinggi pinggang Sura. Nah, akhirnya ketemu orang juga, batin Sura.

“Permisi, Pak,” sapa Sura.

Tak ada jawaban. Lelaki pendek telanjang dada itu masih duduk memunggungi Sura.

“Permisi. Izinkan saya lewat!” ucap Sura lagi.

Lelaki itu tetap membisu. Akhirnya, Sura menyadari siapa lelaki kate itu. Pasti Wong Alusan pengawal luar, katanya membatin. Seperti yang pernah diceritakan leluhurnya dulu, ia ingat apa yang harus dilakukan. Ia segera membalikkan badan dan berjalan mundur melewatinya. Ajaib. Tak terasa Sura telah berada di sebuah persawahan yang sangat luas. Kabut tipis yang turun sedikit mengganggu pandangnya.

“Di sini biasanya orang mati,” terdengar kalimat tanpa rupa pengucapnya.

Sura acuh. Dengan langkah pasti, dia berjalan menyusuri pematang sawah. Dia pun melihat seorang lelaki pendek dengan ikat kepala berdiri di pematang menghadap hamparan sawah. Aneh, tengah malam buta kok berdiri di pematang, pikirnya.

“Maaf, Pak. Permisi, izinkan saya lewat,” sapa Sura.

Lagi-lagi tak ada jawaban. Sepertinya tak mendengar suara apa pun. Melihat itu, Sura berjalan menyamping, setapak demi setapak. Mendadak kabut turun teramat pekat. Sura tak mampu melihat apa yang ada di hadapannya. Sungguh perjalanan mencengangkan. Jauh dari kebiasaannya ketika menyelesaikan tugas sebagai pembunuh bayaran.

Dan, tiba-tiba saja pagi telah tiba.

Aneh. Kini, ia berada di sebuah taman bunga. Terlihat beberapa anak sedang mengejar kupu-kupu. Tak jauh dari tempat anak-anak bermain, sepasang petani sedang menyirami bunga aneka warna. Tapi, ganjil. Ia lihat anak-anak tersenyum dan bercanda, namun ia tak mendengar suara mereka. Ia lihat petani itu bercengkerama. Namun, lagi-lagi, ia tak mendengar suara mereka.

Sura tak menyia-nyiakan waktu. Ia bergegas menelusuri jalan menuju danau. Dilihatnya sebuah rakit bersandar. Di sebelahnya, di atas kursi dari batang bamboo rangkap lima, seseorang tertidur. “Apa lagi ini,” ucap Sura lirih. “Pagi sudah cerah, orang ini masih tertidur lelap. Pasti Wong Ndalem pengawal inti.”
Wajah orang itu tertutup caping. Tak lebih tiga langkah, Sura mengucap salam.

“Permisi, Pak. Izinkan saya menyewa rakit!”

Tak terdengar jawaban. Lelaki itu masih tertidur lelap.

“Izinkan saya menyewa rakit, Pak!” ulang Sura sembari melipat tangan di dadanya.

“Saya tidak menyewakan rakit!” jawab lelaki itu tanpa gerak.

“Izinkan saya meminjamnya.”

“Saya tidak meminjamkan!”

“Ajarkan saya mengemudikan rakit!”

Lelaki itu terbangun dan mendongakkan kepala. Alangkah terkejutnya Sura, lelaki itu memiliki wajah dan tubuh persis seperti dirinya. Tak ada sedikit pun yang beda. Gerak-geriknya, gayanya, bahkan tutur-sapanya. Sura terperanjat.

“Siapa kau?” tanya Sura spontan.

“Saya?”

“Ya!” tegas Sura.

“Naiklah ke rakit!” Terdengar suara itu berat dan kuat.

Sura seketika terdiam. De javu.

“Apa ini!” serunya, “Aku ingat, ini kisah yang selalu ayahku ceritakan sewaktu kecil.”
Lalu, hawa lembut memilin-milin ulu hati, dan lutut Sura melemah. Terduduk, bersimpuh di hadapan lelaki kembarannya itu. Detik itu pula Sura tersungkur. Gelap. Semakin gelap!

***

“Bangun!”

Sura tertegun melihat sekelilingnya. Sekarang tubuhnya tergeletak di halaman rumah mungil yang mengambang di tengah danau. Ia bangkit perlahan-lahan. Menatap kembarannya dengan kebingungan.
“Saya hanya mampu mengantar sampai di sini. Masuklah!” kata lelaki itu, lalu membelokkan perahu setelah Sura menjejakkan kaki di tanah.

Dengan sisa-sisa tenaga, Sura mendekat. Belum sempat tangannya menyentuh, tiba-tiba pintu terkuak lebar. Terpampang pemandangan yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Ruang kosong. Melompong. Dan putih. Harum bunga melati seketika menyerang penciumnya.

Tak ada siapa pun. Ruang tanpa rupa. Tanpa kursi, tanpa meja. Tanpa sekat, tanpa kamar. Terang-benderang. Lembut, dan menguarkan kedamaian.

“Perasaan ini. Masa kecil. Aku tak bisa melupakannya.” Sura bergerak perlahan memasuki ruangan. Kenangan yang telah lama dikuburnya itu semakin membebat. Kasih sayang itu terus menggedor-gedor pintu batinnya. Semakin lama semakin kuat. Hingga tak mampu lagi ia menahannya. Ia tersungkur. Lamur. Pandangannya mengabur.

***

Sura, lelaki peringkat pertama daftar pencarian orang (DPO) pihak kepolisian yang disegani dan ditakuti banyak orang, sekarang tersungkur tanpa daya. Lelaki yang bisa mencabut nyawa orang seenak perutnya itu sekarang tak bisa apa-apa. Kini, di rumah perempuan idamannya, perempuan incaran untuk disunting sebagai istri, berdiri saja ia tak sanggup. Hanya bisa pasrah.

Dan, begitu kelopak matanya terbuka, perempuan itu berdiri semampai tiga langkah di depannya. Hanya tiga langkah, tapi ia tak mampu menjangkaunya. Dan senyum itu, oh, senyum itu begitu indah. Belum pernah ia melihat senyum seindah itu. Benarlah kiranya kabar yang beredar. Perempuan dengan mata dan senyum terindah itu pun merentangkan tangan seperti ingin memeluknya.

Tapi, penglihatan Sura kembali lamur. Makin lama makin kabur.

“Ibu!” Terdengar suara lirih itu dari mulutnya.

Tak lama, ruangan seketika menjadi gelap. Pekat. Amat pekat. 

(*)

-----------------------------------------------------------------------

Handoko F Zainsam, penggagas dan pendiri Komunitas Mata Aksara (KomMA) Jakarta. Karya-karyanya: I’m Still a Woman tahun 2005 (novel); Antologi Puisi Kota Sunyi Tahajud Cinta Kunang-Kunang (2009).